Halaman

Sabtu, 12 Januari 2013

Perfilman Indonesia

Kita seringkali ngutukin industri perfilman Indonesia, bilang gak mutu dan ini itu. Padahal, banyak masalah yang bikin industri perfilman Indonesia seperti ini. Nah, jangan ngutukin dulu sebelum bener-bener tau  masalahnya yaa. Berikut beberapa problematika industri perfilman Indonesia menurut buku Dampak Kekuatan Budaya Indonesia dalam Industri Kreatif:

Sisi Produksi
a.       Wadah Pengembangan Bakat bagi Individu Kreatif
Indonesia bukan kekurangan individu kreatif melainkan kekurangan wadah untuk memfasilitasi Individu kreatif yang ada. Hingga saat ini hanya 1 sekolah perfilman yang eksis di Indonesia. Berbeda dengan di Korea dimana ada lebih dari 100 sekolah perfilman yang jadi lokasi dilaksanakannya pendidikan produksi film.
b.       Persepsi Masyarakat terhadap Dunia Perfilman
Persepsi bahwa dokter dan dosen merupakan dua profesi yang bisa mendatangkan uang dan menjamin masa depan masih saja jadi momok bagi individu kreatif (dan orang tua) untuk mendalami dunia perfilman (dan budaya). Kurangnya ‘jaminan’ penghidupan membuat banyak orang yang menjadikan produksi film sebagai hobi bukan pekerjaan. Bahkan banyak diantara mereka yang ‘melupakan’ hobi ini.
c.       Pajak Pembuatan Film
Yang ini jelas ya. Dukungan pemerintah terhadap industri film Indonesia yang masih minim. Bahkan hasil pajak yang ditarik sama sekali belum digunakan untuk kepentingan mendukung Industri film Indonesia
         Sisi Pemasaran
a.       Monopoli pasar film Indonesia
Monopoli yang dilakukan 21 dan XXI dalam pemasaran film Indonesia ternyata tak membawa dampak positif bagi industri film. Pasalnya XXI dibangun untuk pasar film kelas A (Identik dengan film Hollywood) dan 21 dibangun untuk film kelas B, C, dan D (tidak terbatas untuk film Hollywood). Jadi pengunjung yang datang ke XXI sudah pasti nonton film Hollywood dan yang datang ke 21 belum pasti nonton film lokal. Sementara keberadaan 21 dan XXI ini membunuh 104 biokop film lain tahun ini. Hal ini yang membuat pasar film lokal menjadi terbatas dan kalah dengan film luar negeri.
b.       Mahalnya Biaya Pembangunan Bioskop
Besarnya biaya pembangunan bioskop seolah mendukung 21 dan XXI dalam memonopoli pasar film Indonesia. Sulit untuk menciptakan bioskop lain dengan kualitas yang sama dan punya tempat yang sama di hati masyarakat sebagaimana 21 dan XXI. Apalagi pemutaran film yang dewasa ini selalu mendahulukan 21 dan XXI membuat pasar lain film Indonesia menjadi mati. Belum lagi teknologi penggandaan film yang sangat mahal. Menjadi permasalahan yang kompleks bagi industri perfilman Indonesia
Mahalnya biaya produksi, minimnya perhatian pemerintah terhadap industri perfilman, dan sulitnya kondisi pasar film Indonesia membuat pihak yang berinvestasi di bidang perfilman lebih berorientasi pada upaya untuk memperbanyak keuntungan. Kemungkinan untuk bersaing dengan genre film yang sejenis Hollywood namun dengan kualitas yang berbeda (karna dana yang ada tak sebesar anggaran film luar) tentu tidak jadi opsi yang baik. Akhirnya muncul film yang asal-asalan. Asal ngeliatin cewe-cewe seksi doang yang penting ada yang mau nonton dan filmnya laku.
Dokumentasi Film sebagai Aset Budaya dan Sejarah
Sebagai media pembelajaran sejarah dan perkembangan budaya Indonesia, dokumentasi terhadap film-film lokal yang ada masih minim dilakukan. Selain karena biaya yang mahal, perhatian dari pihak pemerintah masih sangat minim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar