Kita seringkali ngutukin industri perfilman Indonesia,
bilang gak mutu dan ini itu. Padahal, banyak masalah yang bikin industri perfilman
Indonesia seperti ini. Nah, jangan ngutukin dulu sebelum bener-bener tau masalahnya yaa. Berikut beberapa problematika
industri perfilman Indonesia menurut buku Dampak Kekuatan Budaya Indonesia
dalam Industri Kreatif:
Sisi Produksi
a.
Wadah Pengembangan Bakat bagi Individu
Kreatif
Indonesia bukan
kekurangan individu kreatif melainkan kekurangan wadah untuk memfasilitasi
Individu kreatif yang ada. Hingga saat ini hanya 1 sekolah perfilman yang eksis
di Indonesia. Berbeda dengan di Korea dimana ada lebih dari 100 sekolah
perfilman yang jadi lokasi dilaksanakannya pendidikan produksi film.
b.
Persepsi Masyarakat terhadap Dunia
Perfilman
Persepsi bahwa
dokter dan dosen merupakan dua profesi yang bisa mendatangkan uang dan menjamin
masa depan masih saja jadi momok bagi individu kreatif (dan orang tua) untuk
mendalami dunia perfilman (dan budaya). Kurangnya ‘jaminan’ penghidupan membuat
banyak orang yang menjadikan produksi film sebagai hobi bukan pekerjaan. Bahkan
banyak diantara mereka yang ‘melupakan’ hobi ini.
c.
Pajak Pembuatan Film
Yang ini jelas ya.
Dukungan pemerintah terhadap industri film Indonesia yang masih minim. Bahkan
hasil pajak yang ditarik sama sekali belum digunakan untuk kepentingan
mendukung Industri film Indonesia
Sisi Pemasaran
a.
Monopoli pasar film Indonesia
Monopoli yang
dilakukan 21 dan XXI dalam pemasaran film Indonesia ternyata tak membawa dampak
positif bagi industri film. Pasalnya XXI dibangun untuk pasar film kelas A
(Identik dengan film Hollywood) dan 21 dibangun untuk film kelas B, C, dan D
(tidak terbatas untuk film Hollywood). Jadi pengunjung yang datang ke XXI sudah
pasti nonton film Hollywood dan yang datang ke 21 belum pasti nonton film
lokal. Sementara keberadaan 21 dan XXI ini membunuh 104 biokop film lain tahun
ini. Hal ini yang membuat pasar film lokal menjadi terbatas dan kalah dengan
film luar negeri.
b.
Mahalnya Biaya Pembangunan Bioskop
Besarnya biaya
pembangunan bioskop seolah mendukung 21 dan XXI dalam memonopoli pasar film
Indonesia. Sulit untuk menciptakan bioskop lain dengan kualitas yang sama dan
punya tempat yang sama di hati masyarakat sebagaimana 21 dan XXI. Apalagi
pemutaran film yang dewasa ini selalu mendahulukan 21 dan XXI membuat pasar
lain film Indonesia menjadi mati. Belum lagi teknologi penggandaan film yang
sangat mahal. Menjadi permasalahan yang kompleks bagi industri perfilman Indonesia
Mahalnya biaya produksi, minimnya
perhatian pemerintah terhadap industri perfilman, dan sulitnya kondisi pasar
film Indonesia membuat pihak yang berinvestasi di bidang perfilman lebih
berorientasi pada upaya untuk memperbanyak keuntungan. Kemungkinan untuk
bersaing dengan genre film yang sejenis Hollywood namun dengan kualitas yang
berbeda (karna dana yang ada tak sebesar anggaran film luar) tentu tidak jadi
opsi yang baik. Akhirnya muncul film yang asal-asalan. Asal ngeliatin cewe-cewe
seksi doang yang penting ada yang mau nonton dan filmnya laku.
Dokumentasi Film sebagai Aset Budaya dan Sejarah
Sebagai media pembelajaran sejarah dan
perkembangan budaya Indonesia, dokumentasi terhadap film-film lokal yang ada
masih minim dilakukan. Selain karena biaya yang mahal, perhatian dari pihak
pemerintah masih sangat minim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar