Halaman

Minggu, 08 April 2012

Sriwedari

Permadi-Bratajaya Lair. Tulisan itu terpampang di papan pengumuman yang terdapat di depan pintu masuk Gedung Wayang Orang (GWO), kompleks Taman Hiburan Rakyat (THR) Sriwedari Solo. Gedung masih nampak sepi penonton, padahal di luar keadaan cukup ramai oleh pengunjung yang datang bersama keluarganya menikmati suasana malam di THR Sriwedari.
Sementara itu di belakang panggung GWO terdapat sekelompok orang yang sedang sibuk dengan berbagai macam alat rias dan pakaian wayang. Berbagai macam properti untuk pentas malam itu seperti kepala wayang, rambut palsu, dan beberapa macam aksesoris pentas juga bertebaran di atas meja rias. Canda tawa dan suasana akrab satu sama lain sangat kental terasa. Meskipun berbeda usia, namun tidak mengurangi keakraban diantaranya. Selain para orang dewasa, kelompok pemain wayang orang tersebut juga terdapat para remaja.
Menjelang pukul delapan malam, sebuah suara yang terdengar berat menggema menyuruh sekelompok orang tersebut agar segera berkumpul. Rupanya suara berat tersebut adalah milik sang sutradara wayang orang malam itu, Diwasa Diranagara S. Sn. Pria setengah baya itu meminta para pemain untuk bersiap karena pentas akan segera dimulai. Sesaat kemudian, para pemain bergegas ke meja rias yang berderet di belakang panggung. Masing-masing pemain merias wajah mereka sendiri, sesuai dengan karakter tokoh wayang yang akan mereka mainkan malam itu. Mereka tampak begitu terampil dan cepat dalam merias dirinya sendiri. Termasuk ketika mengenakan pakaian wayang yang sudah disiapkan di lemari.
Lalu layar panggung terangkat. Tiga raksasa berjogetan menjadi pembuka pertunjukan wayang orang di gedung tua Sriwedari. Tepuk tangan penonton tak juga mengusir kesunyian pertunjukan yang berlangsung pada Selasa (12/4) malam itu. Bukan karena kota Solo seharian diguyur  hujan, tapi karena dari 500 kursi yang tersedia, hanya 20-an yang terisi penonton.  Dari hari ke hari, seperti itulah suasana pentas Wayang Orang Sriwedari, meski setiap hari selalu disajikan lakon baru.
“Kami punya program dalam satu tahun tidak ada cerita atau lakon yang sama. Setidaknya kami sudah menyiapkan 365 cerita. Tapi ternyata tidak mengubah apa-apa.” Kata Diwasa.
Padahal untuk bisa menyaksikan pentas, penonton hanya perlu mengeluarkan Rp 3 000, dengan durasi pertunjukan tiga jam dari pukul delapan hingga sebelas malam. Dan malam itu, Puji Maharani, penjaga  loket  terus menunggu penonton sambil mencoret-coret kertas kosong. Hingga sepuluh menit menjelang pertunjukan dimulai, baru terjual 13 lembar tiket.
  “Biasanya bisa terjual sampai 20-25 lembar. Mungkin karena malam ini hujan, sehingga yang datang sedikit. Kalau malam minggu bisa lebih dari 100 orang,” kata Puji.
Gedung wayang orang Sriwedari terletak ekitar dua kilometer arah barat dari Keraton Kasunanan Surakarta, di Jalan Slamet Riyadi. Di depan gedung seluas 600 meter itu terdapat patung Gatotkaca dan Srikandi. Ada juga spanduk bertuliskan "Cintailah Budaya Negeri Kita".   Sayangnya, gedung kesenian tua itu tampak tak terawat baik. Atap gedung  terlihat rusak dan dinding sulit dibedakan berwarna putih atau kuning. Sebagian penonton masih merasa nyaman, karena dilengkapi kipas angin dan kursi kayu yang masih lumayan bagus.  Satu-satunya yang membuat sedikit terhibur dari kelengkapan gedung ini adalah sound system-nya. Menggelegar dan bersih suaranya, sehingga dialog demi dialog para peraga di panggung pun bisa terdengar dengan jelas di seluruh gedung.
 “Kesetiaan Melestarikan Peninggalan Kebudayan Keraton", barangkali  telah menjadi sebuah kebanggaan bagi 85 anggota wayang orang Sriwedari untuk tetap bertahan di tengah terpaan zaman modern. Bagi mereka, pertunjukan yang berasal dari zaman Pukubuwono X yang berkuasa dari tahun 1893 sampai 1939 ini harus dilestarikan.
  Wayang orang Sriwedari itu memang sudah satu abad lebih. Dulu, budaya kraton Surakarta yang pada masa pemerintahan Pakubuwono X itu awalnya sebagai hiburan khusus untuk raja. Sejak tahun 1921, wayang orang dimasukkan ke kompleks Sriwedari agar masyarakat umum bias ikut menyaksikan.
Wayang orang Sriwedari pernah mengalami masa kejayaan era tahun 1960-an hingga pertengahan 1980-an dengan jumlah pengunjung 2000 orang per bulannya. Namun sejak era itu, kelompok wayang orang ini tersengal-sengal hingga sekarang. Bukan hanya penonton yang nyaris tidak pernah memadati setiap pertunjukan, tetapi kesan sebagai kesenian yang pernah menjadi ikon  Kota Solo sebagai pusat kebudayaan Jawa pun tak nampak lagi. Sepinya pengunjung membuat kesenian wayang orang Sriwedari mulai terancam keberadaannya.
Menurut Tugimin (56), salah satu budayawan Solo, sepinya  pengunjung GWO karena munculnya kesenian lain yang lebih menghibur. “Anak muda lebih menyukai iburan-hiburan yang modern, seperti nongkrong di kafe atau dugem. Perkembangan zaman yang melahirkan berbagai fasilitas juga membuat kesenian wayang orang ditinggalkan.”
Selain itu, Tugimin juga menilai bahwa kualitas pertunjukan juga mengalami penurunan dibandingkan pada tahun-tahun keemasannya.
“Dulu, para pemain sangat disiplin dalam melakukan memerankan lakonnya, dan saya kira saat itu lakon-lakonnya cukup memenuhi pakem. Setiap pertunjukan berdurasi 4 jam, sedangkan sekarang kurang dari 2 jam saja,” ujarnya.
Dengan kondisi yang sepi penonton, terkadang para pemain memang merasa bosan. Setidaknya itulah yang dikatakan Agus Prasetyo, salah satu pemain wayang orang yang sudah tujuh tahun menjadi anggota wayang orang Sriwedari.
“Setiap hari penontonnya sepi, kalau ada 10 orang itu sudah ramai. Keadaan itulah yang terkadang mempengaruhi suasana hati para pemain.  Saya kadang kecewa juga kalau tidak ada yang nonton, kok sepertinya tidak ada lagi yang menghargai kesenian sendiri,” tuturnya.
Soal gaji, dari 85 anggota kelompok wayang orang Sriwedari, 90 persen di antaranya adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS), sedangkan 10 persen sisanya masih sebagai tenaga honorer. Kesejahteraan anggota kelompok wayang orang sriwedari boleh dibilang masih memprihatinkan.

Kurang sosialisasi

Beberapa cara telah ditempuh oleh pihak GWO dalam menarik jumlah pengunjung, salah satunya adalah dengan publikasi lewat beberapa media. “Selain lewat woro-woro (pengumuman), kami juga mempublikasikan lewat media cetak dan elektronik. Namun belum bias mendongkrak jumlah pengunjung,” kata Diwasa
Pemkota Solo sebenarnya sudah cukup berperan dalam melakukan  sosialisasi. Misalnya dengan cara mencantuman GWO Sriwedari dalam jurnal-jurnal wisata kota solo, atau pun brosur perjalanan saja. Selebihnya pihak pengurus GWO sendiri pro aktif mengundang sekolah-sekolah mulai SD, SMP, dan SMU untuk memperkenalkan kesenian wayang orang pada generasi muda.
Sementara Kepala Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya (Diparsenbud), Purnomo Subagyo, menyebutkan dalam hal sosialisasi, selain dengan memasang publikasi di media, pihaknya juga membagikan tiket pertunjukan wayang orang kepada para pegawai pemkot.
“Kami memberikan tiket agar tiap malamnya jumlah pengunjung bisa meningkat sekaligus mengajak para pegawai dan keluarga untuk mengenal lebih dekat kesenian ini. Namun, untuk mereka (para pegawai pemkot, red) datang atau tidak, itu tergantung mereka sendiri. Kami tidak berhak untuk memaksa,” jelasnya.
Namun, Diwasa sempat menjelaskan bahwa perhatian yang pemerintah berikan saat ini semakin berkurang bersamaan dengan berkurangnya minat masyarakat terhadap kesenian ini. “Sebenarnya sulit menentukan siapa yang lebih dulu meninggalkan kami. Apakan masyarakat dulu, atau pemerintahnya.”
Menurut Diwasa, pemerintah harus lebih proaktif dalam mensosialisasikan GWO Sriwedari. Dia juga berharap agar pihak pemerintah selain memberikan perhatian berupa materi, juga menunjukkan minatnya pada kesenian ini dengan menyaksikan pertunjukan wayang orang.
Memang tak mudah untuk menghidupkan GWO lagi di tengah-tengah menjamurnya bioskop dan kafe-kafe tempat nongkrong anak-anak muda. Namun bukan berarti seni dan budaya tardisional ini harus dilupakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar