Permadi-Bratajaya Lair. Tulisan itu terpampang di papan
pengumuman yang terdapat di depan pintu masuk Gedung Wayang Orang (GWO),
kompleks Taman Hiburan Rakyat (THR) Sriwedari Solo. Gedung masih nampak
sepi penonton, padahal di luar keadaan cukup ramai oleh pengunjung yang
datang bersama keluarganya menikmati suasana malam di THR Sriwedari.
Sementara itu di belakang panggung GWO terdapat sekelompok orang yang
sedang sibuk dengan berbagai macam alat rias dan pakaian wayang.
Berbagai macam properti untuk pentas malam itu seperti kepala wayang,
rambut palsu, dan beberapa macam aksesoris pentas juga bertebaran di
atas meja rias. Canda tawa dan suasana akrab satu sama lain sangat
kental terasa. Meskipun berbeda usia, namun tidak mengurangi keakraban
diantaranya. Selain para orang dewasa, kelompok pemain wayang orang
tersebut juga terdapat para remaja.
Menjelang pukul delapan malam, sebuah suara yang terdengar berat
menggema menyuruh sekelompok orang tersebut agar segera berkumpul.
Rupanya suara berat tersebut adalah milik sang sutradara wayang orang
malam itu, Diwasa Diranagara S. Sn. Pria setengah baya itu meminta para
pemain untuk bersiap karena pentas akan segera dimulai. Sesaat kemudian,
para pemain bergegas ke meja rias yang berderet di belakang panggung.
Masing-masing pemain merias wajah mereka sendiri, sesuai dengan karakter
tokoh wayang yang akan mereka mainkan malam itu. Mereka tampak begitu
terampil dan cepat dalam merias dirinya sendiri. Termasuk ketika
mengenakan pakaian wayang yang sudah disiapkan di lemari.
Lalu layar panggung terangkat. Tiga raksasa berjogetan menjadi
pembuka pertunjukan wayang orang di gedung tua Sriwedari. Tepuk tangan
penonton tak juga mengusir kesunyian pertunjukan yang berlangsung pada
Selasa (12/4) malam itu. Bukan karena kota Solo seharian diguyur hujan,
tapi karena dari 500 kursi yang tersedia, hanya 20-an yang terisi
penonton. Dari hari ke hari, seperti itulah suasana pentas Wayang Orang
Sriwedari, meski setiap hari selalu disajikan lakon baru.
“Kami punya program dalam satu tahun tidak ada cerita atau lakon yang
sama. Setidaknya kami sudah menyiapkan 365 cerita. Tapi ternyata tidak
mengubah apa-apa.” Kata Diwasa.
Padahal untuk bisa menyaksikan pentas, penonton hanya perlu
mengeluarkan Rp 3 000, dengan durasi pertunjukan tiga jam dari pukul
delapan hingga sebelas malam. Dan malam itu, Puji Maharani, penjaga
loket terus menunggu penonton sambil mencoret-coret kertas kosong.
Hingga sepuluh menit menjelang pertunjukan dimulai, baru terjual 13
lembar tiket.
“Biasanya bisa terjual sampai 20-25 lembar. Mungkin karena malam
ini hujan, sehingga yang datang sedikit. Kalau malam minggu bisa lebih
dari 100 orang,” kata Puji.
Gedung wayang orang Sriwedari terletak ekitar dua kilometer arah
barat dari Keraton Kasunanan Surakarta, di Jalan Slamet Riyadi. Di depan
gedung seluas 600 meter itu terdapat patung Gatotkaca dan Srikandi. Ada
juga spanduk bertuliskan "Cintailah Budaya Negeri Kita". Sayangnya,
gedung kesenian tua itu tampak tak terawat baik. Atap gedung terlihat
rusak dan dinding sulit dibedakan berwarna putih atau kuning. Sebagian
penonton masih merasa nyaman, karena dilengkapi kipas angin dan kursi
kayu yang masih lumayan bagus. Satu-satunya yang membuat sedikit
terhibur dari kelengkapan gedung ini adalah sound system-nya.
Menggelegar dan bersih suaranya, sehingga dialog demi dialog para peraga
di panggung pun bisa terdengar dengan jelas di seluruh gedung.
“Kesetiaan Melestarikan Peninggalan Kebudayan Keraton", barangkali
telah menjadi sebuah kebanggaan bagi 85 anggota wayang orang Sriwedari
untuk tetap bertahan di tengah terpaan zaman modern. Bagi mereka,
pertunjukan yang berasal dari zaman Pukubuwono X yang berkuasa dari
tahun 1893 sampai 1939 ini harus dilestarikan.
Wayang orang Sriwedari itu memang sudah satu abad lebih. Dulu,
budaya kraton Surakarta yang pada masa pemerintahan Pakubuwono X itu
awalnya sebagai hiburan khusus untuk raja. Sejak tahun 1921, wayang
orang dimasukkan ke kompleks Sriwedari agar masyarakat umum bias ikut
menyaksikan.
Wayang orang Sriwedari pernah mengalami masa kejayaan era tahun
1960-an hingga pertengahan 1980-an dengan jumlah pengunjung 2000 orang
per bulannya. Namun sejak era itu, kelompok wayang orang ini
tersengal-sengal hingga sekarang. Bukan hanya penonton yang nyaris tidak
pernah memadati setiap pertunjukan, tetapi kesan sebagai kesenian yang
pernah menjadi ikon Kota Solo sebagai pusat kebudayaan Jawa pun tak
nampak lagi. Sepinya pengunjung membuat kesenian wayang orang Sriwedari
mulai terancam keberadaannya.
Menurut Tugimin (56), salah satu budayawan Solo, sepinya pengunjung
GWO karena munculnya kesenian lain yang lebih menghibur. “Anak muda
lebih menyukai iburan-hiburan yang modern, seperti nongkrong di kafe
atau dugem. Perkembangan zaman yang melahirkan berbagai fasilitas juga
membuat kesenian wayang orang ditinggalkan.”
Selain itu, Tugimin juga menilai bahwa kualitas pertunjukan juga mengalami penurunan dibandingkan pada tahun-tahun keemasannya.
“Dulu, para pemain sangat disiplin dalam melakukan memerankan
lakonnya, dan saya kira saat itu lakon-lakonnya cukup memenuhi pakem.
Setiap pertunjukan berdurasi 4 jam, sedangkan sekarang kurang dari 2 jam
saja,” ujarnya.
Dengan kondisi yang sepi penonton, terkadang para pemain memang
merasa bosan. Setidaknya itulah yang dikatakan Agus Prasetyo, salah satu
pemain wayang orang yang sudah tujuh tahun menjadi anggota wayang orang
Sriwedari.
“Setiap hari penontonnya sepi, kalau ada 10 orang itu sudah ramai.
Keadaan itulah yang terkadang mempengaruhi suasana hati para pemain.
Saya kadang kecewa juga kalau tidak ada yang nonton, kok sepertinya
tidak ada lagi yang menghargai kesenian sendiri,” tuturnya.
Soal gaji, dari 85 anggota kelompok wayang orang Sriwedari, 90 persen
di antaranya adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS), sedangkan 10 persen
sisanya masih sebagai tenaga honorer. Kesejahteraan anggota kelompok
wayang orang sriwedari boleh dibilang masih memprihatinkan.
Kurang sosialisasi
Beberapa cara telah ditempuh oleh pihak GWO dalam menarik jumlah
pengunjung, salah satunya adalah dengan publikasi lewat beberapa media.
“Selain lewat woro-woro (pengumuman), kami juga mempublikasikan
lewat media cetak dan elektronik. Namun belum bias mendongkrak jumlah
pengunjung,” kata Diwasa
Pemkota Solo sebenarnya sudah cukup berperan dalam melakukan
sosialisasi. Misalnya dengan cara mencantuman GWO Sriwedari dalam
jurnal-jurnal wisata kota solo, atau pun brosur perjalanan saja.
Selebihnya pihak pengurus GWO sendiri pro aktif mengundang
sekolah-sekolah mulai SD, SMP, dan SMU untuk memperkenalkan kesenian
wayang orang pada generasi muda.
Sementara Kepala Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya (Diparsenbud),
Purnomo Subagyo, menyebutkan dalam hal sosialisasi, selain dengan
memasang publikasi di media, pihaknya juga membagikan tiket pertunjukan
wayang orang kepada para pegawai pemkot.
“Kami memberikan tiket agar tiap malamnya jumlah pengunjung bisa
meningkat sekaligus mengajak para pegawai dan keluarga untuk mengenal
lebih dekat kesenian ini. Namun, untuk mereka (para pegawai pemkot, red)
datang atau tidak, itu tergantung mereka sendiri. Kami tidak berhak
untuk memaksa,” jelasnya.
Namun, Diwasa sempat menjelaskan bahwa perhatian yang pemerintah
berikan saat ini semakin berkurang bersamaan dengan berkurangnya minat
masyarakat terhadap kesenian ini. “Sebenarnya sulit menentukan siapa
yang lebih dulu meninggalkan kami. Apakan masyarakat dulu, atau
pemerintahnya.”
Menurut Diwasa, pemerintah harus lebih proaktif dalam
mensosialisasikan GWO Sriwedari. Dia juga berharap agar pihak pemerintah
selain memberikan perhatian berupa materi, juga menunjukkan minatnya
pada kesenian ini dengan menyaksikan pertunjukan wayang orang.
Memang tak mudah untuk menghidupkan GWO lagi di tengah-tengah
menjamurnya bioskop dan kafe-kafe tempat nongkrong anak-anak muda. Namun
bukan berarti seni dan budaya tardisional ini harus dilupakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar